4 PAHLAWAN NASIONAL

4 Pahlawan Nasional
Berikut profil empat tokoh yang ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional sehari jelang Hari Pahlawan 2017 dihimpun Tribun Timur dari berbagai sumber:
1. TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid (Nusa Tenggara Barat)
Tuan Guru Kiai Haji (TGKH) Muhammad Zainuddin Abdul Majid lahir di Lombok Timur, NTB, 5 Agustus 1898 dan meninggal pada 21 Oktober 1997 juga di Lombok Timur.
Dia dikenal sebagai sosok penggagas dan pengembang nasionalisme religius untuk kemerdekaan Indonesia.
Ia mewujudkan gagasan itu dengan membentuk organisasi modern berbasis religius, Nahdlatul Wathan tahun 1934 di Lombok, NTB, setelah menyelesaikan studinya di Madrasah Syalwatiyah, Arab Saudi.
Perjuangan Nahdlatul Wathan dipusatkan melalui penyelenggaraan lembaga pendidikan kepada rakyat Lombok, sehingga tumbuh menjadi pendukung kuat kemerdekaan Indonesia di tahun 1945. Berikut kiprahnya:
Pada tahun 1934 mendirikan pesantren al-Mujahidin. Pada tahun 1937 mendirikan Madrasah NWDI. Pada tahun 1943 mendirikan madrasah NBDI.
Pada tahun 1945 pelopor kemerdekaan RI untuk daerah Lombok. Pada tahun 1946 pelopor penggempuran NICA di Selong Lombok Timur.
Pada tahun 1947/1948 menjadi Amirul Haji dari Negara Indonesia Timur. Pada tahun 1948/1949 menjadi anggota Delegasi Negara Indonesia Timur ke Arab Saudi.
Pada tahun 1950 Konsulat NU Sunda Kecil. Pada tahun 1952 Ketua Badan Penasehat Masyumi Daerah Lombok.
Pada tahun 1953 mendirikan Organisasi Nahdlatul Wathan. Pada tahun1953 Ketua Umum PBNW Pertama.
Pada tahun 1953 merestui terbentuknya parti NU dan PSII di Lombok. Pada tahun 1954 merestui terbentuknya PERTI Cang Lombok.
Pada tahun 1955 menjadi anggota Konstituante RI hasil Pemilu I (1955). Pada tahun 1964 mendirikan Akademi Paedagogik NW.
Pada tahun 1964 menjadi peserta KIAA (Konferensi Islam Asia Afrika) di Bandung. Pada Tahun 1965 mendirikan Ma'had Dar al-Qu'an wa al-Hadits al-Majidiyah Asy-Syafi'iyah Nahdlatul Wathan.
Pada tahun 1972-1982 sebagai anggota MPR RI hasil pemilu II dan III. Pada tahun 1971-1982 sebagai penasihat Majlis Ulama' Indonesia (MUI) Pusat.
Pada tahun 1974 mendirikan Ma'had li al-Banat. Pada Tahun 1975 Ketua Penasihat Bidang Syara' Rumah Sakit Islam Siti Hajar Mataram (sampai 1997).
Pada tahun 1977 mendirikan Universitas Hamzanwadi. Pada tahun 1977 menjadi Rektor Universitas Hamzanwadi.
Pada tahun 1977 mendirikan Fakultas Tarbiyah Universitas Hamzanwadi. Pada tahun 1978 mendirikan STKIP Hamzanwadi.
Pada tahun 1978 mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Syari'ah Hamzanwadi. Pada tahun 1982 mendirikan Yayasan Pendidikan Hamzanwadi.
Pada tahun 1987 mendirikan Universitas Nahdlatul Wathan Mataram. Pada tahun 1987 mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Hamzanwadi.
Pada tahun 1990 mendirikan Sekolah Tinggi Ilamu Dakwah Hamzanwadi. Pada tahun 1994 mendirikan Madrasah Aliyah Keagamaan putra-putri. Pada tahun 1996 mendirikan Institut Agama Islam Hamzanwadi.
Sebelumnya, pemerintah menganugerahi almarhum Piagam Penghargaan dan Medali Pejuang Pembangunan. Pada 21 Oktober 1997, ulama karismatik ini wafat dalam usia 99 tahun.
2. Laksamana Malahayati (Aceh)
Laksamana Malahayati adalah seorang muslimah yang menjadi Laksamana perempuan pertama di dunia berasal dari Kesultanan Aceh. Ia adalah putri dari Laksamana Mahmud Syah.
Kakeknya bernama Laksamana Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah Kesultanan Aceh Darussalam sekitar tahun 1530-1539 M.
Pada tahun 1585-1604, dia memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV.
Tercatat dalam sejarah Aceh bahwa kemampuan militer Malahayati muncul dari hasil pembelajaran yang dialaminya pada sebuah institusi sekolah kerajaan yang bernama Baital Maqdis.
Melalui berbagai pembelajaran yang diterima oleh Laksamana Malahayati, ia mampu memimpin 2.000 pasukan armada, mengkoordinir sekitar 100 kapal perang. Tidak hanya itu, ia juga mampu mengusir tentara Portugis dan Belanda ketika ingin menguasai daerah kemaritiman Kerajaan Aceh.
Karirnya di medan tempur berawal dari dibentuknya pasukan "Inong balee" (janda-janda yang suaminya telah syahid dalam perang).
Malahayati memimpin armada laut dengan 2.000 orang pasukan "Inong balee" dan berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda pada 11 September 1599.
Malahayati sendiri adalah seorang janda yang kehilangan suaminya yang gugur dalam pertempuran melawan Portugis.
Bersama pasukannya Malahayati memimpin perang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda tanggal 11 September 1599 dan berhasil membunuh pimpinan perang Belanda yang bernama Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal. Atas keberaniannya ini dia mendapat gelar Laksamana.
3. Sultan Mahmud Riayat Syah (Kepulauan Riau)
Sebelumnya, Kepri telah memiliki dua nama besar pahlawan nasional, yakni Raja Ali Haji dan Raja Haji Fisabilillah. Tapi, sejak menjadi Provinsi, inilah usulan pertama Kepri untuk Pahlawan Nasional.
Dilansir situs resmi Pemprov Kepri, Sultan Mahmud Syah III dilantik menjadi Sultan tahun 1761 M pada usia belia, saat  masih berusia dua tahun. Pusat pemerintahannya berada di Hulu Riau (Kota Raja) selama 26 tahun (dari tahun 1761-1787 M).
Demi taktik perang melawan Belanda, Sultan Mahmud Syah III kemudian memindahkan Ibukota kerajaan di Lingga hingga akhir hayatnya, tahun 1812 M. Sebagai pemimpin tertinggi Kerajaan Johor-Riau-Lingga dan Pahang, banyak kebijakan Sultan Mahmud Syah III yang strategis dan monumental.
Salah satunya dengan memerintahkan perjuangan melawan penjajah dalam perang di Teluk Riau dan Teluk Ketapang Melaka pada tahun 1784. Dalam peperangan ini, panglima perang Raja Haji Fisabillillah, tewas sebagai syahid.
Meski mengalami kekalahan, tidak menyurutkan perjuangan Sultan Mahmud Syah III melawan penjajah. Beliau justru semakin memperkuat armada perangnya, menyusun strategi dan membangun pusat-pusat ekonomi.
Sultan Mahmud Syah III juga mempererat kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang dengan beberapa kerajaan lainnya seperti Jambi, Mempawah, Indragiri, Asahan, Selangor, Kedah dan Trenggano. Sultan Mahmud Syah III, menguatkan persaudaraan antara Melayu dan Bugis melalui ‘sumpah setia’ dan pernikahan antara kedua belah pihak. Kebijakan Sultan ini terbukti mampu menjadi senjata ampuh, melawan penjajah yang terkenal dengan politik adu dombanya.
Pada masanya juga, Lingga dirintis menjadi pusat tamaddun Melayu. Diantaranya menggalakan dunia tulis (mengarang) dalam kitab-kitab ajaran agama Islam dan bahasa (sastra) Melayu. Kelak, bahasa Melayu menjadi cikal bakal bahasa pemersatu nusantara, yakni bahasa Indonesia.
Sultan Mahmud Syah III, menjadikan Pulau Penyengat sebagai maskawin pernikahannya dengan Engku Puteri Raja Hamidah binti Raja Haji. Berkat perjuangan Sultan pula, akhirnya Lingga dan Pulau Penyengat menjadikota yang hebat. Lingga kemudian dikenal sebagai Bunda Tanah Melayu dan Pulau Penyengat sebagai Pulau Indera Sakt
4. Lafran Pane (DI Yogyakarta)
Lafran Pane merupakan satu-satunya dari empat tokoh yang digelari pahlawan nasional yang berjuang di awal masa kemerdekaan.
Ia menjadi salah satu tokoh utama yang menentang pergantian ideologi negara dari Pancasila menjadi komunisme.
Lafran Pane lahir di Sipirok, Sumatera Utara, 5 Februari 1922. Ia dikenal sebagai tokoh pergerakan pemuda dan memprakarsai pembentukan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada 5 Februari 1947.
Lafran adalah seorang mahasiswa tingkat I Fakultas Hukum Sekolah Tinggi Islam (STI) bersama 14 orang mahasiswa Sekolah Tinggi Islam menggagas dibentuknya organisasi mahasiswa bernapaskan Islam.
Dalam perjalanannya, HMI secara konsisten menolak gagasan Negara Islam yang digagas oleh Maridjan Kartosoewiryo pendiri gerakan Darul Islam.
Lahir dari keluarga sastrawan dan seniman, Lafran Pane mendapatkan pendidikan agama dari bangku sekolah. Pemikirannya tentang Islam tidak lepas dari situasi kebangsaan saat itu yang mendorong lahirnya HMI.
Pemikirannya tentang pembaruan Islam di mana tugas umat Islam adalah mengajak umat manusia kepada kebaikan dan juga menciptakan masyarakat adil makmur baik secara material dan spiritual.
Semasa di STI, Lafran Pane mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada 5 Februari 1947. 
HMI merupakan organisasi mahasiswa yang berlabelkan "Islam" pertama di Indonesia dengan dua tujuan dasar. Pertama, mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia. 
Kedua, menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam. Dua tujuan inilah yang kelak menjadi pondasi dasar gerakan HMI sebagai organisasi.
Lafran sangat terbuka terhadap beragam interpretasi terhadap Pancasila, termasuk pada Islam. Islam bertumpu pada ajarannya memiliki semangat dan wawasan modern, baik dalam politik, ekonomi, hukum, demokrasi, moral, etika, sosial maupun egalitarianisme. 
Egalitarianisme ini adalah faktor yang paling fundamental dalam Islam, semua manusia sama tanpa membedakan warna kulit, ras, status sosial-ekonomi.
Lewat HMI, Islam mendapat peran yang lebih tinggi yakni bahwa Islam bukanlah sekumpulan kaum yang mempertahankan tradisi dan pengetahuan tradisional. 
Selain itu, dengan adanya HMI ide persatuan umat Islam yang mengikis fanatisme kelompok semakin meningkat.
Karena gagasannya membentuk HMI, ia ditunjuk sebagai Ketua Umum Pengurus Besar (PB) HMI namun ia mundur dari ketua Umum PB HMI pada 22 Agustus 1947 dan pindah menjadi Wakil Ketua Umum.
Lafran Pane membagikan ilmunya lewat mengajar dengan menjadi dosen Fakultas Ilmu Sosial (FKIS) IKIP Yogyakarta, dosen Fakultas Sosial dan politik Universitas Gajah Mada (UGM), dosen Universitas Islam Indonesia (UII), dosen Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia, sejak tanggal 1 Desember 1966, Lafran Pane diangkat menjadi guru besar (profesor) dalam mata kuliah Ilmu Tata Negara. Lafran Pane menghembuskan nafas terakhirnya pada 24 Januari 1991.

Comments

Popular posts from this blog